Sunday, October 31, 2004

Kuda (belum selesai)

Udara terasa begitu dingin, tetesan air hujan yang semakin deras membuat malam terasa begitu sepi. Pukul 23:55 Kereta dari arah Frankfurt akhirnya tiba, segera ku kayuh sepeda menuju gerbong depan. Sepeda ku biarkan tersandar sementara aku mencari tempak duduk di bagian atas gerbong. Lampu lampu terlihat seolah olah berkelap kerlip akibat gerak kereta yang begitu cepat. Perjalanan akan terasa begitu lama, karena antara Bad Nauhem hingga Giessen kereta harus berhenti di beberapa stasiun stasiun kecil.

Layar penutup jendela kereta kuturunka, memang sengaja agar pikiranku tidak terus melayang melihat pemandangan di luar. Buku saku Juz Amma mulai kubaca, perlahan menghayati makna makna arti semua tulisan yang ada, hingga aku terdiam pada surat Al' Aadiyaat

"Demi kuda perang yang berlari kencang dengan terengah -engah"
"dan Kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya)"
"dan kuda yang menyerang dengan tiba-tiba di waktu pagi,"
"maka ia menerbangkan debu,"
"dan menyerbu ke tengah tengah kumpulan musuh"

kubaca berulang kali lima ayat pertama surat Al'Aadiyaat, perlahan otakku berputar mencoba memaknai arti tulisan tersebut. Dalam pikiran hanya terbersit "seekor kuda yang gagah, yang terus berlari sekuat tenaga, tak peduli lelah hingga terengah-engah". Kubaca lagi secara perlahan kata demi kata, kalimat demi kalimat.
.
"dan Kuda yang mencetuskan api dengan pukulan (kuku kakinya)"
"dan kuda yang menyerang dengan tiba tiba di waktu pagi"
"maka ia menerbangkan debu"
Begitu tangguhnya hingga setiap derap langkahnya menumbuhkan semangat yang besar. Dan kehadirannya menerbangkan dan menyinkirkan debu debu ( yang tak bernilai).
.
"dan menyerbu ketengah tengah kumpulan musuh"
.
"Astaghfirullah, keterlaluan sekali" batinku mengumpat, begitu beraninya mencoba mengartikan ayat ayat suci tanpa pengetahuan sama sekali,. Mencoba mengartikan kata demi kata layaknya sebuah tulisan biasa. Segera kumasukan Zuj Amma kedalam tas.
.
Sambil mengisi kekosongan ku mainkan tombol tombol HP, tadi pagi ada sms dari rumah , ku buka layar messeng. "Aa Ilham gmn koq dah lama g da kbrnya.Disini Almd4JJI Baik2x aja.Krng dah juz brp. skrg dah mlm k 16 loh. Saumnya dah da yg blg g." Aku hanya tersenyum kecut, entah kapan terakhir kali mengirim kabar ke rumah.
.
Mula mula hampir setiap minggu aku kirim kabar ke rumah, dan bahkan juga teman teman di masa sekolah, baik telpon, email atau sekedar kirim sms. Tapi dalam hitungan bulan mulai jarang dan bahkan entah kapan terakhir kirim kabar. Bukan karena fasilitas yang kurang, apa lagi di negeri Jerman yang serba ada. Tidak sulit jika hanya sekedar mengirim e-mail, tapi entah rasanya sulit untuk merangkai kata menjadi sebuah kalimat.
.
2 Tahun lebih di rantau rasanya begitu lama, putaran roda waktu yang terus bergulir meninggalkan mereka yang hanya duduk terdiam. Dan aku disini seperti dalam pengasingan, sendiri hanya menjadi pendengar yang tak bisa berbuat apa apa. "ya hanya pendengar" . 2 Tahun lalu aku mendengar Kakaku telah menikah, dan aku hanya bisa mengirim ucapan selamat, selang setahun aku telah memiliki keponakan. Tak berapa lama Kakaku yang kedua menyusul menghadiahkan aku seorang keponakan yang gagah. Tapi sayang aku belum bisa memeluknya.
.
Takdir memang telah di gariskan, bahwa aku disini hanya menjadi seorang pendengar. Disaat sepupuku harus tegar untuk bisa merawat buah hatinya seorang diri, " ya.., suami yang di harapkan menjadi teman hidup harus lebih dulu meninggalkan kehidupan". Aku hanya bisa berdo'a dan tidak lebih.
.
Pukul 00:25 , 3 menit lagi kereta tiba di stasiun Giessen, segera ku turuni tangga menuju gerbong bawah. Ku ambil sepedar yang tersandar, sambil menunggu kereta berhenti aku berdiri di depan pintu keluar.

to be continue (blom selesai)

Wednesday, October 27, 2004

Dasar Abu

Sekedar blog

Malem udah bener bener malem, bulan yang hampir purnama menyorot mengintai seluruh mahluk bumi yang sedang asik bergelut dengan dunia mimpi mimpi malam. Perlahan lahan Abu membuka pintu kamarnya, pukul 00:28 Abu baru pulang.

Sengaja abu tidak menyalakan lampu Floor, dengan meraba raba berjalan menuju dapur, perut yang baru sempat diisi roti sejak buka puasa tadi udah minta nuntut haknya lagi untuk diisi. Beras di masukan ke dalam rice cooker, wajan di taro di atas Elektroherd. Seperti menu sebelumnya antara Nasi Goreng, Mie rebus , atau telur dadar.

"yeh gagal..." abu ngedumel, telor dadar yang ancur lebih mirip bubur telor dari pada telor goreng. "dasar nggak bisa masak". sambil menunggu matangnya nasi. Komputer dinyalakan, iseng iseng baca baca email sekaligus chating, "Bandung2", sambil ngobati rasa kangen ngobrol pake bahasa sunda lewat layar maya.

to be Continue

Saturday, October 23, 2004

Muak

Saya memang bukan seorang petualang tapi entah mengapa begitu indah bisa berjalan sendiri diantara keterasingan dalam kesendirian. Ini bukan yang pertama bagi saya untuk hidup sendiri dalam ruang ruang kekosongan. Acap kali ketika kesuntukan datang menyerang, rasa sakit pasti menyertain dalam bayang bayang kekacauan.

Seperti saat ini dalam ruang kamar yang penuh sesak dengan bau aroma kebusukan, kekacauan. jangankan untuk dapat memejamkan mata dengan tenang, berdiri diam saja sudah membuat perut mual, muak ingin menhjirup udara segar kebebasan.

Monday, October 18, 2004

Wednesday, October 06, 2004

Selamat Jalan Jajang..

Sekedar blog

Innalillahiwa'innaillahirraji'un
Selamat jalan Jajang Suganda, Hanya 4JJI yang tahu apa yang kan terjadi esok. Sosok tinggi gagah yang kemarin masih di tengah tengah kita, sosok yang begitu arif dan dewasa, kini harus pergi meninggalkan kita untuk menjemput kehidupan abadi di alam lain.

Ya 4JJI hanya kau yang tahu apa yang terbaik bagi kami...,
"Berikan lah kepada kami apa yang benar benar baik.."

"Sesungguhnya kita adalah milik 4JII, dan kepada-Nya lah kita akan kembali. sesungguhnya kita kepada Tuhan kita akan di kembalikan. Ya 4JJI, catatlah ia berada dalam golongan orang-orang yang baik di sisi-Mu. Dan jadikanlah kitab catatanya pada illiyyin. Dan gantikanlah ia pada keluarganya yang tinggal. Dan janganlah Engkau jadikan kami terhalang mendapatkan pahalanya, dan jangan pula Engkau menguji dengan fitnah sepeninggalnya"

Monday, August 16, 2004

Mimpi

Kaos ku basah. Denyut jantung kencang dan keringatpun tumpah. Kuseka darah segar yang mengalir dari hidung. Entah sudah berapa lama aku terdampar dalam dunia yang tak ku kenal. Langkah kakiku gontai, beban tubuh ku yang ringkih tak mampu lagi di sangga......

Hampir aku menyerah dengan keadaan yang semakin payah, masker yang kugunakan telah berubah menjadi merah basah oleh darah, kucari satu tongkat yang bisa kugunakan untuk berjalan. Dalam kejahuan kulihat tongkat itu, tapi begitu jauh untuk bisa kuraih...

Udara semakin dingin, “haruskah aku menyerah disini…?”
Angin di luar bertiup dengan kencangnya memasuki ruang kamar melalui pori pori jendela tua, Kubiarkan tungku pemanas dalam keadaan mati, sementara aku berbaring dalam dekapan malam, dalam kamar yang penuh dengan beban. Kurapatkan penutup kantong tidur yang menyelimuti tubuhku. Dan berharap hari hariku akan menjadi indah mengikuti mimpi mimpi malamku.
Selamat malam......,

Monday, April 26, 2004

Sulis


Benturannya teryata terlalu keras untuk kepalaku, rasa sakit berubah menjadi nyeri yang menusuk nusuk hingga kesyaraf, aliran darah segar mengalir menetes kedahi

„Ya Allah...., saya terluka...“

Entah berapa lebar robekan di kepalaku, Aku hanya terduduk di lantai tak berdaya, sementara leherku mulai hangat dibasahi darah segar.

“Berapa banyak darah lagi harus kukeluarkan...!?”, tanya batinku. Setelah dua bulan aku melawan penyakitku agar tidak ada lagi aliran darah segar dari hidungku. Tapi..., sekarang justru begitu banyak darah yang mengalir dari kepalaku.

Aku diam, batinku terus berkecamuk, detak jantungku berdenyut begitu kencang hingga aku bisa merasakannya, sementara aliran air dari keran terus mengalir, sesaat kesadaranku hilang, hingga pintu kamar mandi bergerak terbuka.

“Ya ampun Ngim...!, kamu kenapa..!?” tiba tiba Sulis muncul dari balik pintu, raut mukanya begitu cemas melihat aku yang begitu lemah terduduk diantara beling-beling sisa pecahan cermin..

Dengan sigap Sulis mengambil handuk dan membasahinya dengan air hangat. Perlahan di basuhnya wajah serta leherku dari darah, sementara luka di kepalaku ditutupnya dengan tisu.

“Auw..!” teriakku, ketika Sulis mencoba menekan luka di kepalaku, agar tidak lagi mengeluarkan banyak darah. Tapi percuma, darah tetap menetes, meresap merubah warna tisu menjadi merah tua.

“kamu harus kedokter...!, lukamu parah..!”Tampaknya Sulis begitu panik, hingga tidak bisa mengatur tekanan suaranya.

“iya..”, jawabku datar, berusaha mengendalikan suasana.

Sulis berusaha membantuku untuk berdiri, tangan kananya mendekap bahuku sementara tangan kirinya memegang erat tangan kanaku yang melingkar di pundaknya.

“aku bisa jalan sendiri...” ujarku sambil berusaha melepaskan tangan kanannya dari bahuku.

Perlahan Sulis melepaskan tanganku, tatapanya penuh dengan kehawatiran, tampaknya dia begitu was-was akan keadaanku yang begitu banyak kehilangan darah. Aku merasa begitu bersalah membuat dirinya begitu cemas, sementara aku mengutuk diriku yang begitu lemah. Seandainya aku tahu akan seperti ini jadinya, mungkin aku tidak akan membenturkan kepalaku ke cermin, “ah.., semua sudah terjadi..”, teryata aku terlalu keras membenturkan kepalaku hingga cermin yang biasa tergantung di kamar mandi pecah menjadi keping kepingan kecil.

Bulan April masih menyisakan udara dingin pada saat malam, sementara orang orang sedang asik terlelap dengan mimpi-mimpinya, aku berjalan melewati gelapnya malam. Tak ada lagi kendaraan yang beroperasi pada malam seperti ini, kota kecil ini berubah menjadi kota mati pada malam hari, hanya kerlap kerlip lampu jalan saja yang tampak, tak ada lagi aktifitas, semuanya terlelap.

“Masih jauh..?”, tanyaku pada Sulis, seolah olah aku tidak lagi mengenal seluk beluk kota ini,

“kau lihat gedung tinggi itu..?”, kulihat tangan Sulis menunjuk gedung FH yang merupakan satu satunya gedung yang cukup tinggi, “Di belakang gedung itu kita bisa temukan Notartz”

“ya..” jawabku lemas di sertai anggukan kepala, tanda aku melihat gedung yang di tunjuk Sulis, mungkin hanya tinggal hitungan meter tapi terasa begitu jauh, sementara kepalaku terasa begitu hanggat oleh aliran darah. Kupercepat langkahku diiringi sulis di belakang, hingga sampai di depan gedung kecil bercat putih.

“Jangan banyak bergerak” ucap dokter sambil tangannya begitu cekatan membersihkan luka di kepalaku.

“Auw..!” jarum yang menusuk- nusuk di kepala begitu terasa, efek anestesik dari obat tidak begitu berpengaruh, perlahan dokter menjahit luka di kepalaku. Sekali kali kulirik luka di kepalaku melalui pantulan cermin. Sementara Sulis berdiri menatapku dengan penuh kehawatiran, “maafkan aku Sulis..” batinku.

Udara malam masih terasa dingin, seluruh kota masih tertidur, tak terkeculi di taman kota yang begitu ramai pada siang hari. Sementara aku dan Sulis masih diam, duduk dalam lamunan. Perlahan kulihat bintang bintang mulai pudar, sekali kali kulihat mata bulat Sulis menatap menerawang menembus jajaran bintang, seolah pikirannya ikut melayang terbang dalam kegelapan. Kubiarkan angin malam menusuk nusuk pori-poriku.

“Ngim..,kamu harus tenang..” ucap Sulis, sementara tatapannya masih menatap kelangit “kamu harus kuat.., kamu nggak boleh menyerah..” . Aku hanya diam menikmati dinginya malam.

“Ngim.., kamu nggak sendiri..!, masih ada saya..” perlahan nada suara Sulis mulai berubah naik turun mengikuti emosinya “jangan pernah merasa kecewa..!, jangan pernah mengangap ini akhir dari segalanya..!, Ngim..., ini justru adalah awal” kata kata Sulis begitu menusuk, seolah olah dia bisa membaca semua pikiranku.

Aku tetap diam, sementara memory otakku mulai beputar putar, kebekuan..., kesunyian..., kesendirian...., semuanya telah membuatku merasa tertekan. “ya... Allah.., mengapa aku begitu lemah..?, egois..?”. Kegagalan.., harapan yang mungkin terlalu tinggi sehingga aku merasa begitu kecil, tak berdaya dalam kesendirian.

Perlahan kubuka mataku, jam menunjukan pukul empat pagi, aku masih terbaring di atas kasur kamar. Ku raba kepalaku, tak ada bekas luka, tak ada bekas darah. Aku masih di kamar, sendiri tak ada Sulis, “ah..., mimpi itu..” Keningku mengerut mencoba mengingat-ingat mimpi itu .

“Pertanda apa ini..?” tanyaku dalam hati.

Kubangkit dari tempat tidur dan segera mengambil air Wudhu, masih ada waktu 20 menit untuk tahajud sebelum waktu subuh tiba. Di kamar mandi cermin masih tergantung pada tempatnya, dan tak ada bekas darah. Pikiranku sempat kacau mencoba mengingat semuanya “ya... itu mimpi..!, tapi mengapa Sulis..?!”



Ostanlage.
Giessen, 25.April 2004

Nb.
FH : Kampus
Notartz : Dokter darurar
Cerita ini di ilhami dari mimpi, tentunya dengan pengeditan/mimpinya di Edit ;-)
Telah dipublikasikan di situs Sarikata.com, Prayoga.net dan Kafemuslimah.com