Saturday, February 25, 2006

Sang Pengarang

Berjam-jam sudah pengarang Ali Irawan memaikan jari jari diatas turs Komputer. Tapi sungguh, tak ada satu cerita ataupn puisi yang berhasil diselesaikannya dengan baik, ditulis kemudian delet, Keterlaluan, desisnya.Masak seorang tukan cerita seperti aku tidak bisa menulis? Sial..!. Berjam-jam sudah pengarang Ali Irawan memaikan jari jari diatas turs Komputer. Tapi sungguh, tak ada satu cerita ataupn puisi yang berhasil diselesaikannya dengan baik, ditulis kemudian delet, Keterlaluan, desisnya.Masak seorang tukan cerita seperti aku tidak bisa menulis? Sial..!.

Aku harus bisa, Bisa..!. Harus ada satu cerita yang kutulis hari ini. Hancur nasibku jika malam ini nggak selesai satu ceritapun. Sebenarnya order menulis cerita pendek dari salah satu koran bergengsi Jogja, di dapatkannya seminggu lalu, Bukan cuma mempertaruhkan nama baiknya sebagai Pengarang kampus, Tapi lebih dari itu. "Honor..!", Redaktur  berani membayar tinggi honor penulis yang dianggap beken di Kampus Kampus Jogja. Bahkan bisa di bilang honornya paling tinggi untuk menuliskan cerita pendek di kota tempat tinggalnya yang terkenal dengan kota Mahasiswa dan Budaya.

Mendengar tawaran ini Pengarang Irawan langsung menyetujui. Apalagi kocek di tabunganya yang sering kembang kempis buat tetap bertahan hidup, penghasilan sebagai seniman jalan cuma cukup buat makan plus bayar kost.., Nah.., biaya kuliah yang sering bikin Pusing kepala.., Setidaknya dari honor honor menulis ini bisa cukup untuk menutupi biaya kuliahnya.

Tapi kali ini redaktur meminta untuk menulis cerpen tentang pelajar pelajar di luar Negri, inilah yang membuatnya setengah mati mencoba membuat cerita yang beda. Sebenarnya sang redaktur, kawannya sendiri yang lebih dulu berhasil, dan sang Redaktu mengenal baik siapa pengarang Irawan.  Dalam kepalanya sudah ada sedikit planing tentang cerita Kehidupan Mahasiswa Indonesia di German, Mahasiswa yang lebih sering menjadi perhatian profesor profesor German karena keunikan daya pikirnya. „Habibie-Habibie kecil“

"aaahhh.., sial..!", Tiba tiba hard disknya error seperti sedang merengek rengek protes minta istirahat, Tak hanya itu, semua ide ide cerita pendeknya yang lama dikumpulkan musnah seketika luluh lantah diterkam Virus. Untung berkat bantuan teman kost yang rela dibayar dengan makan siang, Komputernya masih bisa bekerja kembali walau kadang kadang suka ngadat.

Malang sungguh malang, kegembiraan itu hanya berlangsung sekejap. Hard disknya yang sudah berumur tua dan tidak up date lagi terlampau lelah menyimpan lautan bit.

Berhari-hari pengarang Irawan meratapi jalan jalan hidupnya yang sering gagal .Seluruh ide idenya dan cerita cerita jalan hidup pribadinya hilang dalam sekejap, di hancurkan Virus. Mau tak mau Pengarang Irawan harus memulai dengan cerita baru sebelum tawaran menulisnya di cabut.

Hari-hari terus berlalu, sementara date line pengumpulan naskah sudah diambang pintu, kumpulan tulisan tulisan lamanya yang pernah di kirim ke millis-millis dan email kawannya pun tak banyak membantu untuk memunculkan ide segar.

Sekilas tawaran sang redaktur terbayang,"kami hanya memuat cerita pendek yang berbobot dan agak lain. Kau bisa menulis sebebas bebasnya, tapi Ingat target pemasyaran kita adalah Mahasiswa yang kritis.Dan aku salah satu orang yang punya suara.Tapi aku tidak sendirian". Irawan diam.....

Pengarang Irawan dalam keadaan kacau, pengarang Irawan putus asa. Waktu yang dia punya tinggal sehari lagi,Kacauuu...!, apa yang masih bisa merubah nasib sialnya..?,

Untuk menghilangkan sejenak nasib sialnya, Pengarang Irawan pergi jalan keliling kawasan Stasiun tugu sampe Malioboro, Langkahnya terhenti di depan toko buku, heemmm..., tak ada satupun buku yang menarik perhatiannya, Untuk membeli buku saja uang tak ada. Ia sadar harus berhemat kalo masih mau hidup. "Perpustakaan Kampus...?," "ah kenapa tidak cari ide disana", walau sebenarnya nggak punya kartu perpustakaan, karena harus membayar iuran,

Pengarang Irawan mencoba menghubungi kawan-kawannya yang masih kuliah dan sekirannya punya kartu anggota perpustakaan.Mungkin masih ada sedikit harapan.

"wah, aku nggak punya kartu perpustakaan nih,"

"kartuku sudah hilang,"

"sudah exp date. kamu sih terlambat, coba minggu kemaren pinjamnya

"Duh., sorry gw nggak bisa kekampus, yang laen aja. gw ada pekerjaan di luar yang belum selesai.“

Kenapa nggak hubungin kawan yang lainnya?, Pengarang Irawan berjalan ke Wartel sebelah kost yang lebih sering di pake mangkal Mahasiswa yang lagi suntuk,

"nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area.Cobalah beberapa saat lagi"

"wah.., dion lagi mudik ke Jakarta"

"Maaf, kayannya nano lagi nggak ada deh, ada pesan?"

"Nomor televon yang anda tuju sedang sibuk.Cobalah beberapa saat lagi"

"sorry...!, aku besok mau pergi, Dua hari lagi aku baru balik, maaf ya.."

Benar benar putus asa, sudah nggak ada cara lain. Udara sore kota Jogja yang mulai merubah panasnya siang menjadi kesejukan, tampak para pedagang makanan mulai beraksi dalam keramaian malam, kawan kawanya telah siap menghadapi dunianya sebagai seniman jalanan, sekedar memenuhi kebutuhan biaya kuliah,dengan langkah gontai kembali menuju kamar kostnya dekat UII, kali urang.

***

Bulat sudah tekatnya menulis malam ini atau dia harus menghabiskan hidupnya sebagai sang Pengarang yang Gagal, Di mulai dengan membaca Istighfar pengarang Irawan mulai menulis, tapi dalam pikiranya terus terbayang hidup hidupnya yang jauh dari nasib baik, Dari kehidupannya merantau mencari tempat belajar, Jogja, Surabaya, Jakarta bahkan pernah setaun lebih di Jerman, dan harus kembali menghilang dalam kegagalan. Sembunyi dari semua kenyataan, mencoba hidup baru sebagai pengantar koran, dan seniman jalan.

Nasib baik pernah menghampirinya ketika kiriman cerpen cerpenya yang ditulis dimuat di sebuah koran lokal.padahal cerpen itu hanya buah dari keisengan dan kesunyian dari Pengarang Irawan. Dan dimulailah kehidupannya bukan lagi sebagai pengantar koran, tapi penulis cerpen. Cukuplah honornya yang dikumpulkan untuk mendaftar di salah satu institut swasta Jogja, dengan segala upaya pengarang Irawan harus bekerja exstra, selain untuk hidupnya dan kamar kecil kostnya, pengarang Irawan harus menabung untuk mebiaya Kuliahnya.

****
Udara pagi yang sepi, Warnet masih lenggang, kalo tidak mau menyebutnya dengan kata kosong. Pengarang Irawan berjalan menuju salah satu Komputer, terlihat langkahnya gontai dan matanya merah menahan kantuk yang sangat teramat menyerang lelahnya.Semalam suntuk dia menulis, menulis apa yang selama ini menjadi jalan hidupnya,

Masih ada waktu lima belas menit sebelum date line pengiriman, dibukannya email hendak dikirmkannya naskah cerpen yang sudah hampir membuatnya setengah Gila dan putus asa. Dimasukannya disket. jari jarinya terus membentuk perintah kepada komputer untuk segera mengirim cerpennya.

Detik penentuan..., dua menit, lima menit, sepuluh menit, Send. You message has been sucessfully sent, akhirnya mengirim naskah lewat internet memang lebih cepat, tapi jika terlalu mempet sungguh berbahaya kadang naskah nggak pernah nyampe ke tujuan.

Setelah naskah cerpen yang di buatnya dikirm pengarang Irawan merasa sedikit lega walau dia tahu, sungguh kecil kesempatan naskahnya untuk dimuat, Selai ceritanya begitu mustahil dimata banyak orang, cerpenya hanya tulisan tulisan sekilas jalan hidupnya, menjadi mahasiswa yang pernah belajar di jerman dan gagal kemudian hilang,
***


Gagal

Ku buka lagi..lembaran lembaran harian yang sering menemani sepinya hari, dan hidup.sekedar pelepas..rasa kangen, rindu dan kadang lebih sering rasa kecewa yang semakin hari menghimpit di dada..karena pencaharian

Ku buka lagi..lembaran lembaran harian yang sering menemani sepinya hari, dan hidup.sekedar pelepas..rasa kangen, rindu dan kadang lebih sering rasa kecewa yang semakin hari menghimpit di dada..karena pencaharian

Frankfurt-Jakarta 2004 Udara dingin di bulan Februari begitu kejam,jaket kulit yg membungus tubuhku terasa masih belum cukup. Jam menunjukkan pkl 09.00 pagi, suasana di Bandara Frankfurt international sudah mulai ramai maklum pemberangkatan Internasional pertama ke seluruh jurusan di mulai pkl 09.30 pagi. Hmmm ... Pulang,kata itu yg selama ini selalu menghantui pikiranku, selama lebih satu tahun di rantau orang inilah saatnya segala daya, segala usaha dan segala juang menemui kliamksnya karena berkumpul dan menyatu menjadi sebuah kata ...: Gagal !

Pulang dan Gagal ... kata itu terdengar manis menyayat telinga.Dan kegagalanku kali ini begitu sempurna karena kepulanganku kali ini terdorong oleh suatu persitiwa yg mungkin kata orang adalah suatu yg mustahil. Tapi bagiku inilah mungkin perstiwa yg tak mungkin aku lupakan, Yah ...visa...

Mamah ... hmmm ...Nama itu begitu terpatri dalam hidupku selama ini, Nama itu begitu melekat dalam hatiku , Dan nama itu selalu kusebut selalu manakala aku sedang rindu. Belai kasih yang nggak pernah dapet di tukar dengan segalanya, Manja saat kecil yang kini mungkin sudah harus di ganti dengan Kata Pengabdian, mencari kebahagian untuknya..., tapi.... bukankah yang namanya " Bahagia" itu mahal harganya ?

Jam menunjukkan pukul 10.00 tepat, Aku antre memasuki ruang pemeriksaan tiket dan pasport untuk menuju ke pesawat Taiwan Airline. Tanpa kesulitan berarti aku memasuki tangga pesawat dan siap mengudara. Di dalam pesawat, Aku tak bisa tenang, pikiranku melayang membayangkan seperti apa suasananya nanti. Membayangkan seperti apa raut muka Mamah yg selalu membayangi hidupku, seperti apa Mamah.. ? Apa yg akan aku ucapkan manakala pertama jumpa dia ? "'pa khabar Mamah..?"... "Hai Mamah, saya pulang..!", ", Maafkan saya Mamah.." Atau baiknya aku diam.....

Hmmm ... ide yg cemerlang, baiknya aku tetap diam dan Segera pergi menghilang.., toh bukanya sudah biasa aku menghilang dari keramaian, mungkin bisa dikatankan ini Namanya suatu keahlian... Aku kan datang dan kembali menghilang ..,"Jogja..!!"  Aku tersenyum penuh kemenangan membayangkan ide cemerlang itu. Entah karena pikiranku sudah kosong, capek atau mungkin kelelahaan aku tertidur di pesawat.

***
Jogya, Menurut orang kota pelajar dan kota seni, tak berlebihan memang julukan tersebut, disana sini kulihat pelajar dan mahasiswa seliweran, dan tak ketinggalan seniman jalanan sedang beraksi menghibur penonton yg sepertinya takut-takut melihatnya, maklum jogya sekarang kata orang sudah banyak berubah. Jogya sekarang bukan lagi murni dihuni oleh para seniman jalanan yg hanya sekedar membantu meringankan biaya kuliah atau sekedar mencari makan.

Tapi Jogya sekarang, disamping dihuni mahasiswa dan seniman, juga sekarang dihuni oleh para preman. Jogya, buatku juga tempat yang aman untuk menghilang, selain aku nggak punya saudara atau kenalan..., setidaknya masih bisa bertahan hidup dengan modal otak yang masih melekat di kepala..

Kamar kecil yang kusewa nggak terlalu mahal.., karena selain letaknya jauh dari pusat kota, ya.. Kali urang dekat UII, cukup banyak penduduk desa yang menawarkan kost dengan harga miring bagi Mahasiswa, Walau statusku bukan lagi Mahasiswa, berganti jadi pengantar koran, atau seniman jalan, setidaknya masih mampu bertahan hidup.

Siapa sudi orang berpaling kepadaku? Setahun lebih di rantau orang dan pulang membawa kegagalan, Tak perlu aku ceritakan lagi karena hanya akan menambah predikatku sebagai orang yg gagal, gagal yang teramat sempurna tentunya.

Tak terasa menitik pula air mata ini Mam.. Saya tahu semua kecewa, tapi...biarkanlah saya menghilang dan menjadikan cerita ini sebagai impian masa lalu yang harus kukubur dalam dalam...

Maafkan saya Mam....