Monday, April 26, 2004

Sulis


Benturannya teryata terlalu keras untuk kepalaku, rasa sakit berubah menjadi nyeri yang menusuk nusuk hingga kesyaraf, aliran darah segar mengalir menetes kedahi

„Ya Allah...., saya terluka...“

Entah berapa lebar robekan di kepalaku, Aku hanya terduduk di lantai tak berdaya, sementara leherku mulai hangat dibasahi darah segar.

“Berapa banyak darah lagi harus kukeluarkan...!?”, tanya batinku. Setelah dua bulan aku melawan penyakitku agar tidak ada lagi aliran darah segar dari hidungku. Tapi..., sekarang justru begitu banyak darah yang mengalir dari kepalaku.

Aku diam, batinku terus berkecamuk, detak jantungku berdenyut begitu kencang hingga aku bisa merasakannya, sementara aliran air dari keran terus mengalir, sesaat kesadaranku hilang, hingga pintu kamar mandi bergerak terbuka.

“Ya ampun Ngim...!, kamu kenapa..!?” tiba tiba Sulis muncul dari balik pintu, raut mukanya begitu cemas melihat aku yang begitu lemah terduduk diantara beling-beling sisa pecahan cermin..

Dengan sigap Sulis mengambil handuk dan membasahinya dengan air hangat. Perlahan di basuhnya wajah serta leherku dari darah, sementara luka di kepalaku ditutupnya dengan tisu.

“Auw..!” teriakku, ketika Sulis mencoba menekan luka di kepalaku, agar tidak lagi mengeluarkan banyak darah. Tapi percuma, darah tetap menetes, meresap merubah warna tisu menjadi merah tua.

“kamu harus kedokter...!, lukamu parah..!”Tampaknya Sulis begitu panik, hingga tidak bisa mengatur tekanan suaranya.

“iya..”, jawabku datar, berusaha mengendalikan suasana.

Sulis berusaha membantuku untuk berdiri, tangan kananya mendekap bahuku sementara tangan kirinya memegang erat tangan kanaku yang melingkar di pundaknya.

“aku bisa jalan sendiri...” ujarku sambil berusaha melepaskan tangan kanannya dari bahuku.

Perlahan Sulis melepaskan tanganku, tatapanya penuh dengan kehawatiran, tampaknya dia begitu was-was akan keadaanku yang begitu banyak kehilangan darah. Aku merasa begitu bersalah membuat dirinya begitu cemas, sementara aku mengutuk diriku yang begitu lemah. Seandainya aku tahu akan seperti ini jadinya, mungkin aku tidak akan membenturkan kepalaku ke cermin, “ah.., semua sudah terjadi..”, teryata aku terlalu keras membenturkan kepalaku hingga cermin yang biasa tergantung di kamar mandi pecah menjadi keping kepingan kecil.

Bulan April masih menyisakan udara dingin pada saat malam, sementara orang orang sedang asik terlelap dengan mimpi-mimpinya, aku berjalan melewati gelapnya malam. Tak ada lagi kendaraan yang beroperasi pada malam seperti ini, kota kecil ini berubah menjadi kota mati pada malam hari, hanya kerlap kerlip lampu jalan saja yang tampak, tak ada lagi aktifitas, semuanya terlelap.

“Masih jauh..?”, tanyaku pada Sulis, seolah olah aku tidak lagi mengenal seluk beluk kota ini,

“kau lihat gedung tinggi itu..?”, kulihat tangan Sulis menunjuk gedung FH yang merupakan satu satunya gedung yang cukup tinggi, “Di belakang gedung itu kita bisa temukan Notartz”

“ya..” jawabku lemas di sertai anggukan kepala, tanda aku melihat gedung yang di tunjuk Sulis, mungkin hanya tinggal hitungan meter tapi terasa begitu jauh, sementara kepalaku terasa begitu hanggat oleh aliran darah. Kupercepat langkahku diiringi sulis di belakang, hingga sampai di depan gedung kecil bercat putih.

“Jangan banyak bergerak” ucap dokter sambil tangannya begitu cekatan membersihkan luka di kepalaku.

“Auw..!” jarum yang menusuk- nusuk di kepala begitu terasa, efek anestesik dari obat tidak begitu berpengaruh, perlahan dokter menjahit luka di kepalaku. Sekali kali kulirik luka di kepalaku melalui pantulan cermin. Sementara Sulis berdiri menatapku dengan penuh kehawatiran, “maafkan aku Sulis..” batinku.

Udara malam masih terasa dingin, seluruh kota masih tertidur, tak terkeculi di taman kota yang begitu ramai pada siang hari. Sementara aku dan Sulis masih diam, duduk dalam lamunan. Perlahan kulihat bintang bintang mulai pudar, sekali kali kulihat mata bulat Sulis menatap menerawang menembus jajaran bintang, seolah pikirannya ikut melayang terbang dalam kegelapan. Kubiarkan angin malam menusuk nusuk pori-poriku.

“Ngim..,kamu harus tenang..” ucap Sulis, sementara tatapannya masih menatap kelangit “kamu harus kuat.., kamu nggak boleh menyerah..” . Aku hanya diam menikmati dinginya malam.

“Ngim.., kamu nggak sendiri..!, masih ada saya..” perlahan nada suara Sulis mulai berubah naik turun mengikuti emosinya “jangan pernah merasa kecewa..!, jangan pernah mengangap ini akhir dari segalanya..!, Ngim..., ini justru adalah awal” kata kata Sulis begitu menusuk, seolah olah dia bisa membaca semua pikiranku.

Aku tetap diam, sementara memory otakku mulai beputar putar, kebekuan..., kesunyian..., kesendirian...., semuanya telah membuatku merasa tertekan. “ya... Allah.., mengapa aku begitu lemah..?, egois..?”. Kegagalan.., harapan yang mungkin terlalu tinggi sehingga aku merasa begitu kecil, tak berdaya dalam kesendirian.

Perlahan kubuka mataku, jam menunjukan pukul empat pagi, aku masih terbaring di atas kasur kamar. Ku raba kepalaku, tak ada bekas luka, tak ada bekas darah. Aku masih di kamar, sendiri tak ada Sulis, “ah..., mimpi itu..” Keningku mengerut mencoba mengingat-ingat mimpi itu .

“Pertanda apa ini..?” tanyaku dalam hati.

Kubangkit dari tempat tidur dan segera mengambil air Wudhu, masih ada waktu 20 menit untuk tahajud sebelum waktu subuh tiba. Di kamar mandi cermin masih tergantung pada tempatnya, dan tak ada bekas darah. Pikiranku sempat kacau mencoba mengingat semuanya “ya... itu mimpi..!, tapi mengapa Sulis..?!”



Ostanlage.
Giessen, 25.April 2004

Nb.
FH : Kampus
Notartz : Dokter darurar
Cerita ini di ilhami dari mimpi, tentunya dengan pengeditan/mimpinya di Edit ;-)
Telah dipublikasikan di situs Sarikata.com, Prayoga.net dan Kafemuslimah.com